Minggu, 04 Desember 2016

Dibalik 212


Pagi saya terbangun saat langit mulai cerah, bergegas mandi lalu sholat subuh. Setelahnya saya merasa ada yang aneh. Saya cari. Benar saja, adik laki-laki saya tidak ada dirumah pagi ini. Saya tanya mama saya, ternyata adik saya sudah pergi ke Monas sejak subuh. Sepanjang pagi berita di tv menyiarkan siaran langsung Aksi Super Damai 212. Walau tidak dibolehkan untuk pergi ikut Aksi, saya tetap memakai dresscode putih. Walaupun tidak bisa ikut bertakbir bersama ribuan umat islam lainnya, diam-diam saya takbir dalam hati.

Sepanjang perjalanan saya ke kampus, selalu saya temui rombongan orang-orang berpakaian putih dalam bis atau konvoi motor. Melihatnya seperti jamaah haji. Mulai dari jalan tol hingga jalan raya banyak sekali orang berpakaian putih. Di transjakarta saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu. Iya berkomentar melihat banyak orang-orang berpakaian putih tersebar di jalan dan tentang aksi yang  nantinya hanya membuat rusuh. Saya hanya tersenyum, memberi sedikit pengertian tapi tidak memaksa. Ibu itu hanya mangut-mangut dan tersenyum kecil.

Konvoi motor melewati bis. Dan saat itu hati saya bergetar. Gema takbir dan sholawatan mengaung di sepanjang jalan. Ramainya ibu kota tidak mengalahkan suara takbir dan sholawat itu. Bahkan mereka iring-iringan dengan tertib tanpa ugal-ugalan. Lalu dimana letak rusuh nya? Tanya saya dalam hati. Ini betul namanya 'super damai'.

Sampai waktu siang dan aksi bubar saya hanya mendapat kabarnya dari berita online atau pun teman saya yang ikut aksi. Aksi sangat damai dan lancar. Ah, menyesal rasanya. Tapi saya terenyuh hari itu. Aksi hari itu benar-benar damai. Dan membungkam mulut-mulut mereka yang suka berbicara seenaknya tentang aksi bela islam. Andai saja mereka tahu sebesar apa pertolongan Allah kepada manusia yang menolong agama-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar