Senin, 23 September 2019

Almamater



[a.l.m]

Pada masa itu kita masih bersama melalui hari.
Aku mendekapmu dari pekatnya asap metromini.
Menyeka peluh padamu yang kusam disengat mentari.
Bahkan jarang sekali kau kucuci.
Demi menjaga bau perjuangan yang tak ingin mati.

Hari itu pikirku perjuangan telah usai.
Kucuci kau, bersemayam kau dalam lemari.
Menikmati hari bersama kain-kain wangi.
Kubiarkan kau istirahat sejenak tanpa tahu waktu yang terlalui.

Hari ini,
izinkanku menggenggammu kembali.
Mengingat kembali memori.
Bernostalgia dengan aspal jalan, asap metromini, dan sengatan mentari.
Membangkitkan kembali ruh yang mati suri.

Hari ini,
izinkanku membawamu pergi.
Rakyat turut memanggilmu tuk bantu ibu pertiwi.
Yang haknya diperkosa negara sendiri.

Hari ini,
Izinkanku membawamu pergi.
Membangunkan akal dan nurani yang telah mati.

Jakarta,  24 September 2019


—calon emak-emak
This entry was posted in

Minggu, 25 Agustus 2019

Dilema

Ketetapan menjelma dilema
Entah sejak kapan aku goyah padanya
Ah, begitu hipokrit
Aku meneruskannya walau tau akan sakit

Awalnya bentengku kuat
Telah kubulatkan tekad
Namun roboh begitu saja
Tanpa apa-aba

Sudut bibirnya yang melengkung membuatku mematung
Kemudian aku pecah, menghambur tanpa arah

Dalam dilema,  aku masih ingin memutuskan
Untuk berhenti sampai di sini saja

-piyi olet

25.08.2019

Kamis, 14 Februari 2019

Penat

sesak bertambah
kala pikiran tak tentu arah
dan hati menjadi marah
bahkan tak bisa aku pasrah


tolonglah...
kemana jawaban yang tepat itu?
tanya-tanya itu masih mengambang
memproklamasikan dirinya sebagai ujian


penat wahai hati
bisakah berdamai sedikit?
tentram seperti barang mewah
aku bahkan tidak tahu apa yang murah


cukupkan.
mari cukupkan nelangsa ini
tidak seperti aku biasanya
apa yang aku mau?
tidak tahu.


Kamis, 14 Februari 2019