Senin, 27 Februari 2017

Puisi Satu Malam

Sakit

Sakit
Melekit
Menjerit

Diam
Temaram
Tenggelam

Jauh di dasar jurang
Tak berujung tak bertuan
Lenyap dan hilang

Selamat malam.

Piyi Olet
Jakarta, 27.02.17
Ditemani abang grabbike yang sedang mengendara.

***

Oh Martabak

oh martabak..
aromamu begitu semerbak
harummu sangat menyeruak

Dibuat dengan energi dan semangat
Dipotong dengan seni yang memikat
Nikmat selagi hangat

oh martabak..
makanan nikmat segala usia
mulai dari anak-anak dan kawula muda
juga orang dewasa hingga lanjut usia

Apalah rasa manis asam asin
Bila martabak mulai mendingin
Martabak sisa sepotong
Tapi perut masih merongrong

oh martabak..
hidangan yang mebuat kecanduan karena lezat.
apalagi bila lapar sudah menggugat.

oh martabak..
santapan sedap tiada tara.
membuat bibir tak lagi dapat berkata-kata.

Piyi dan Cale - Wakarsas Jakarta

Puisi Satu Malam

Sakit

Sakit
Melekit
Menjerit

Diam
Temaram
Tenggelam

Jauh di dasar jurang
Tak berujung tak bertuan
Lenyap dan hilang

Selamat malam.

Piyi Olet
Jakarta, 27.02.17
Ditemani abang grabbike yang sedang mengendara.

***

Minggu, 26 Februari 2017

Tulisan yang Tertunda

Yay sudah hari ke 26!
Masih semangat?
Harus semangat!

Belakangan aku nerima banyak pc ataupun keluhanan, dari fighter squad 4 maupun teman-teman sesama fughter di squad lain. Makin menuju akhir makin sulit menemukan ide. Soal ide, udah banyak kan ya solusi-solusi dari KOUF-KOUF sebelumnya?

Nah, aku nggak mau bahas soal solusi kehabisan ide, tapi bahas soal tulisan tertunda.

Tulisan yang tertunda maksudnya adalah tulisan-tulisan setengah rampung yang masih bersemayam di otak kita ataupun di draf blog kita masing-masing. Lalu ada apa dengan tulisan tertunda?

Sebenarnya ini bisa jadi salah satu solusi bagi kamu yang kehabisan ide.

Pernah nggak sih tiba-tiba kepikiran ide mau nulis apa tapi nunda-nunda untuk memulai nulis akhirnya lupa nulis?

Nah, disana, diingatan yang terlupakan itu tulisan tertunda bersemayam.

Akhirnya saya nemu cara saya sendiri agar tulisan tertunda ini bisa jadi tulisan seutuhnya. Saat ide itu muncul, tulis garus besar atau kata kunci. Tulis di buku catatan, atau note hp juga bisa.

Stuck in the Moment
Ngerasa blockwriting atau tiba-tiba nggak bisa ngelanjutin tulisan? Santai aja. Minum kopi, liat-liat pemandangan di luar, balik lagi nulis. Jangan kelamaan nostalgia dengan blockwriting. Karna kalau kelamaan blockwriting bisa dirasuki setan malas. Akhirnya malas nulis, dan tulisan nggak kelar.

Don't think. Just Writing
Inspirasi nggak datang dengan cuma ditungguin. Kamu penulis atau penunggu? Nulis aja, nanti inspirasi dateng sendiri. Kayak jomblo-jomblo di luar sana yang kelamaan nunggu. Akhirnya keduluan orang lain. *eh

Dan satu hal yang perlu diperhatikan dalam keistiqomahan menulis adalah rasa malas. Jangan sampai malas yang mengendalikan kita. Tapi kita yang harusnya mengendalikan rasa malas itu sendiri.

#30DWCJilid4 hari ke - 26

Romantisme dalam Penantian

Jika kamu adalah akhir bahagiaku
Maka waktu adalah penantian
Dan Tuhan memberikan segudang ujian
Agar kutahu aku memang layak untukmu

Biarlah doa menjadi bukti
Dan langit menjadi saksi
Aku akan selalu disini
Sabar menanti

(Piyi, Menanti, 26 Februari 2016)

Jodoh, rezeki, ajal, semua adalah rahasia Ilahi. Tak satupun makhluk-Nya tahu siapa jodoh mereka, berapa rezeki mereka, dan kapan ajal mereka. Tapi sebagai manusia yang diberi akal, kita hanya perlu mempersiapkannya. Lalu apa yang harus dipersiapkan saat ia—yang namanya tersemat di Lauhul Mahfudz— datang?

***

Hujan terkadang memang waktu yang tepat untuk bergalau ria. Baik galau diputusin mantan, galau ditinggal gebetan, ataupun galau menunggu yang diharapkan (jodoh)? Galau adalah saat kamu bingung melakukan apa, lalu yang bisa kamu lakukan adalah merenung dan bersedih. Tak perlu berlarut. Karna dengan galau itu hanya membuat kamu terlihat menyedihkan.

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”
(An Nur : 26)

Jodoh seperti apa, sih, yang kamu inginkan? Kalau kamu ingin ia yang baik dan sholih, maka berkacalah dulu pada diri sendiri. Layakkah diri ini bersanding dengan ia yang begitu sholih sementara iman sendiri masih compang-camping? Karna jodoh adalah cerminan dari diri kita. Kini, Allah berbaik hati memberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Tapi satu hal yang terpenting dalam meperbaiki diri adalah, niatkan bukan karna jodoh yang sholih, tapi karna Allah ta'ala. Tuhan Sang Pencipta jodohmu, yang maha mebolak-balikkan hati.

Sebelum kamu mengenal jodohmu, pastikan dulu kamu mengenal Penciptanya. Sebelum kamu mencintainya, pastikan kamu sudah mencintai-Nya. Karna cinta bukan hanya kepada manusia. Cinta juga kepada Allah, rasul, malaikat, dan jihad fii sabilillah.

Galau menghabiskan sekian dari sepersekian waktumu. Hal yang sia-sia bukan? Galau pada cinta manusia yang tak pasti apa dia benar-benar jodohmu atau bukan. Berhentilah memikirkan jodoh orang lain. Maka mulailah dengan memperbaiki diri. Memulai cinta positif, cinta kepada Allah.

Rasakan romantisme atas ruqiyah yang terus meningkat. Iman yang selalu menjagamu dari jurang perzinahan. Semua akan indah pada waktunya, semua akan bertemu jodoh pada waktunya. Kamu hanya perlu mempersiapkan diri, memantaskan diri dengan baik. Lalu percayalah pada Allah. Karna Allah yang akan menggerakan kapal hatimu pada pelabuhan yang tepat. Karna Allah tahu betul yang terbaik untuk kita.

#30DWCJilid4 hari ke 25

Kamis, 23 Februari 2017

Puisi Terakhir

pararam.com

Kau tahu? Puisiku tahu
Sudah terlalu lama aku merindu
Puisi ini berisi aksara rindu

Bait-bait menjadi saksi aku menunggu
Hampir di setiap malam senduku
Kulantunkan sebuah elegi rindu

Tak satupun purnama tahu
Bahkan menyampaikan pesan rinduku
Selamat malam, mimpi indah
Bahkan mengucapkannya aku tak sampai
Apalagi rindu tak bertuan ini?

Hai, Tuan tanpa nama
Mungkin ini akan menjadi penantian terpanjangku
Aku tak tahu,
Tapi aku akan menanti sampai kau datang bertamu
Bait-bait penantian akan menjadi bait-bait doa untukmu
Biarlah kau menjadi aksara Ilahi

Puisiku tetaplah kamu

Puisi terakhir, aku akan tetap menanti disini



Bekasi, 23 Februari 2017
Kamu: yang namanya tercatat di lauhul mahfudz
This entry was posted in

Rabu, 22 Februari 2017

Titik di Ujung Kata

Rona senja menyatu dalam pekatnya awan di langit
Sepertinya mereka terlibat sebuah pertarungan sengit
Yang kulihat hanya kelabu yang sedang menanti dalam sepi
Menunggu saat yang tepat untuk beraksi

Sudah berlalu 7200 detik
Aku masih di sini, tak juga berkutik
Menunggu pena menulis sebuah kata
Tapi nyatanya hanya sebuah garis tak tertata

Jelas menyerah bukanlah solusi
Bagaimana jika langit menjadi inspirasi?
Halaman yang kosong akan segera terisi
Tak apa, walau hanya menjadi penonton di belakang sisi

Ku tulis sebuah catatan
Catatan singkat sebuah perjalanan
Perjalanan kehidupan senja dan awan
Yang mungkin nanti akan kita renungkan

Selamat malam, langit
Terima kasih sudah menjadi penonton yang baik
Selamat malam, kata-kata
Terima kasih sudah menjadi pemain yang handal
Kita akhiri sampai di sini
Pada titik di ujung kata

Bekasi, 22 Februari 2017
23.23

#30DWCJilid4 Hari ke-22

Selasa, 21 Februari 2017

Semut-Semut Kecil

Dengan tubuh kecil kau berlari
Mencari makan kesana kemari
Bertemu kawan kau menghampiri
Memanggul bersama sepotong roti stoberi

Seperti semut-semut kecil di sudut ruangan
Tak kenal lelah berjuang untuk menyambung kehidupan
Menggapai cita dan harapan
Meski harus berjumpa dengan sejuta tantangan mematikan

Seperti semut-semut kecil di sudut ruangan
Tak kenal lelah terus berlarian
Pantang menyerah terus mencari jalan harapan
Sesekali terjatuh dari ketinggian
Tapi tidak membuat semangat jatuh beruntuhan

Hidup adalah sebuah pertarungan
Pertarungan antara harapan dan tantangan
Tapi semua akan mudah jika dilewati dengan kekeluargaan
Jadilah semut-semut kecil di sudut ruangan

Bekasi, 21.02.2016

#30DWCJilid4 hari ke-21

Senin, 20 Februari 2017

Ini Hijrahku


Ramadhan 1431 H, bulan puasa tahun 2010, sekitar 6 tahun lalu hidayah menyapaku untuk pertama kalinya. Saat itu aku duduk di bangku SMP kelas 9. Sekolah mewajibkan tiap siswa muslim mengikuti pesantren kilat. Namanya juga kilat, tidak seperti pesantren di pondok yang bertahun-tahun, agendanya hanya tiga hari dan diadakan di sekolah.

Selepas sholat Dhuha siswa dipisah antara laki-laki dan perempuan lalu masuk ke kelas untuk mengaji Al-qur'an. Saat itu salah satu guru menyuruh kami membaca ayat-ayat tertentu. Salah satunya yang masih kuingat adalah surah Al-ahzab ayat 59.

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganAl-qur'anAllah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Q.S Al-Ahzab :59)


Aku mulai membaca ayat tersebut dan membaca artinya. Ketika itu juga rasanya seperti ada yang menusuk hatiku dengan pedang. Dan ketika itu juga aku benar-benar baru tahu bahwa ada perintah Allah dalam Al-qur'an mewajibkan para wanita untuk berjilbab, menutupi aurat. Rasanya malu sekali, menyadari kenyataan bahwa selama ini aku tidak dekat dengan Allah. Kewajiban seperti itu saja aku baru tahu.

Singkat cerita, aku mulai berjilbab pada bulan Syawal 1432 H. Ya, setahun kemudian sejak pesantren kilat di SMP. Saat itu aku duduk di bangku SMA kelas 10. Orang tua sempat meragukanku , khawatir aku tidak Istiqomah dan melepas jilbabku. Aku tidak diam dan terus meyakinkan orang tua.
3 tahun kemudian, aku sudah menjadi mahasiswi di perguruan tinggi. Alhamdulillah aku masih istiqomah dengan jilbabku. Tapi sejak aku kuliah, sesuatu seperti menggangguku. Selama ini aku damai-damai saja dengan jilbab paris segi empat yang selalu kupakai dengan model 'lempar sana lempar sini'. Di kampus banyak sekali muslimah berjilbab tapi jilbab mereka panjang dan lebar. Bagiku yang tidak terbiasa, itu adalah aneh. Suatu waktu temanku pernah menyuruhku untuk mengulurkan jilbab sampai menutupi. Aku menurutinya sesekali. Sampai aku pada titik hijrah berikutnya.

Aku mengikuti sebuah kajian kemuslimahan. Di form presensi ditanyakan apakah aku sudah berjilbab syar'i, lalu kupilih pilihan belum. Aku tidak tahu bahwa itu membawaku pada jalan hijrah. Penyelenggara kajian memberiku sebuah jilbab yang berbeda dari yang sering kupakai selama ini. Mereka juga menyelipkan sebuah kertas yang sampai saat ini masih kusimpan. Kertas yang berisi penggalan ayat Surah An - Nur.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(Q.S An-Nur : 31)


Namun, niatku untuk berjilbab syar'i sepertinya tidak direspon baik. Saat itu orang tuaku tidak menyukai jilbabku yang memanjang. Awalnya aku hanya diam, tapi tidak bisa selamanya dia. Bahkan beberapa orang di sekitarku menatapku dengan tatapan 'itu'. Aku tidak peduli dan akan tetap melanjutkan hijrah yang sudah kumulai.

Sejak saat itu hidupku mulai sedikit terang. Allah benar-benar menunjukkanku jalan hijrah. Mulai dari berjilbab syar'i hingga berhias syar'i. Masa-masa jahiliyahku hanya bumbu yang akan melengkapi cerita hidupku. Tapi hijrah adalah bahan utamanya. Dari sebuah jalan hidayah, beberapa jalan hidayah lainnya terbuka. Sungguh, aku sangat bersyukur. Di tengah proses hijrahpun, aku dikeliling orang-orang sholeh da sholehah yang selalu membantu. Walaupun sesekali tatapan aneh datang dari orang lain ataupun orang terdekat.

Banyak hal yang aku sadari ketika aku memilih hijrah. Tentu banyak tantangan yang datang dan aku harus siap menghadapinya untuk tetap istiqomah. Sesekali mungkin aku futur. Tapi aku harus terus mengingatkan diri agar tidak hijrah pada kefuturan.

Inilah jalan yang kupilih. Jalan hijrah. Ketika aku memilih hijrah, aku tidak peduli lagi bagaimana pandangan orang. Aku hanya memikirkan bagaimana Allah memandangku?
Tulisan ini, kisah sekaligus muhasabah untuk diri ini agar tetap istiqomah. Ayo hijrah, saudariku. Allah mungkin merindukanmu.

Minggu, 19 Februari 2017

Selamat Malam, Tuan

Selamat malam, Tuan

Ada yang sedang kau rindu?
Kuharap itu aku
Ada yang sedang kau tunggu?
Kuharap itu aku

Dingin, Tuan

Dinginnya merasuk hingga ke tulang
Menancap di hati yang malang
Sakitnya tanpa kepalang
Dinginnya sikapmu buat aku ingin menghilang

Aku menyerah, Tuan

Bukan karna aku tak sanggup berjuang
Bukan karna rasaku telah hilang
Tapi karna aku tahu kau juga sedang berjuang
Menjaga diri untuk yang nanti kau sayang

Selamat malam, Tuan

Walau sakit, aku akan kuat
Walau sulit, aku akan semangat
Menjaga diri dalam kemuliaan
Memperkuat dan memperkokoh iman

Bekasi, 19 Februari 2017

#30DWCJilid4 hari ke - 19

This entry was posted in

Sabtu, 18 Februari 2017

Harap Tenang Ini Ujian

Malam menembus dingin dalam kegalapan
Jutaan air dari langit jatuh beruntuhan
Menyisakan kau yang berlarian dalam memori pikiran
Harap tenang, ini ujian

Kau datang membawa sejuta kenangan
Mengejutkan jantung berirama tak beraturan
Lalu kau pergi untuk yang kesekian
Harap tenang, ini ujian

Malam memburuku bersama masa
Memburuku dengan sejuta tanya
Apa ini yang kau inginkan?
Harap tenang, ini ujian

Tak peduli bagaimana kau menganggapku
Tak peduli sampai kapan aku harus menunggu
Aku hanya akan menunggu dan mengatakan
Harap tenang, ini ujian

Bekasi, 18 Februari 2017

#30DWCjilid4 hari ke - 17

This entry was posted in

Jumat, 17 Februari 2017

Review Buku: Agar Bidadari Cemburu Padamu

picstam.com

Agar Bidadari Cemburu Padamu "setangkai cinderahati untuk wanita shalihah pendamba surga, pembuat iri bidadari dan para lelaki yang ingin menikahi" merupakan salah satu karya terbaik dari ustadz Salim A. Fillah. Terdiri dari 254 halaman, 10 bab, dan 4 bagian.
Luar biasanya buku ini, ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, berisi syair-syair indah, dan ada pula kamus kecil berisi kata-kata yang mungkin bagi kita asing di telinga, semisal:
- 'Afwan : sorry
- Akhawat : Saudara perempuan jamak
- Tabarruj : Berhias, berias, make up
- dan sebagainya.
Tak kalah bagus isinya, begitu menginpirasi


Bagian Pertama: Allah Sayang Padaku
"Selalu wasiatkan kebaikan kepada para wanita. Karena mereja diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok dari jalinan tulang rusuk ialah tulang rusuk bagian atas. Jika kalian paksa diri untuk meluruskannya, ia akan patah. Tetapi jika kalian mendiamkannya, ia akan tetap bengkok. Karena itu wasiatkanlah kebaikan kepada para wanita."
(HR Al Bukhori, dari Abu Humairah)

Islam begitu memuliakan wanita. Semua diatur dalam Al-Qur'an. Soal kepemimpinan, soal waris, akal dan agama, kesetaraan. Banyak keistimewaan yang hanya dimiliki wanita. Allah memberi waktu istirahat untuk wanita dalam beribadah karna Allah tahu bagaimana kondisi wanita. Bahasan tentang wanita ada dalam surah An - Nisa. Dari 114 surah tidak ada surah khusus membahas laki-laki.

Bagian Kedua: Yang Tak Ditebar, Takkan Pernah Pudar
Wanita adalah mahakarya, mahakarya yang diciptakan oleh Allah dengan begitu istimewa. Dan bidadari itu suci. Maukah agar bidadari cemburu padamu? Mari membidadarikan diri.
"Di dalam surga itu terdapat bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya. Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka. Tidak pula oleh jin."
(Ar Rahmaan 56)


Berjilbab itu wajib namun sedikit muslimah yang baru mengetahuinya. Trendsetter syar'i? Berpakaianlah yang mendatangkan ridha Allah: 
1. Menutup dan melindungi suruh tubuh, selain yang dikecualikan.
2. Bukan Tabarruj
3. Kainnya tebal
4. Kainnya longgar, tidak sempit, dan tidak jatuh
5. Tidak diberi wangi haruman
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
7. Tidak menyerupai pakaian orang kafir
8. Dll.


Bagian Ketiga: Cintailah Cinta!
Pada bagian ketiga ini mengenai ketertarikan terhadap lawan jenis. Tak perlu malu karena itu hal biasa selama dalam batas wajar. Jangan sampai ketertarikan itu membawa maksiat.
[Buka Surah Al-Qashash Ayat 25-26]
Akhwat biasanya lebih tertarik pada dimensi kepribadian seorang ikhwan. Bukan mobil pribadi, rumah pribadi, kekayaan pribadi. Tapi benar-benar tampakan akhlaq yang mencerminkan keutuhan pribadinya. Cinta bukan hanya terbatas kepada cinta sesama manusia. Tapi, makna cinta kepada Allah, Rasulullah, Hari akhirat dan jihad fi sabilillah.

Bagian Keempat: Namun Pernikahan Begitu Indah Kudengar
Pada bagian ini lebih banyak menceritakan mengenai pernikahan. Dan juga bagaimana muslimah harus pula taat pada suami.
Agar bidadari cemburu padamu. Betapa ingin ia mengajak kita menghayati arti keshalihan dan makna keimanan sebagaimana Allah dan Rasul-Nya tuntunkan. Betapa ingin ia sampaikan bahwa Allah Maha Besar, janjiNya haq, syurgaNya haq, nerakaNya haq, pertemuan denganNya haq, kitabNya haq, rasulNya haq.. Agar kalian menjadi saksi atas segenap manusia, dan Rasul menjadi saksi atas kalian..


Selengkapnya bisa baca bukunya^^
#30DWCJilid4 hari ke -17
This entry was posted in

Kamis, 16 Februari 2017

Move Up!

Setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya. Karna hidup ini terlalu monoton untuk selalu indah atau selalu buruk. Setidaknya masa-masa sulit itulah yang akan menjadi bumbu cerita kehidupan yang singkat ini.

Maka ketika kamu terpuruk atau dalam masa kesulitan, Laa tahzan , Innallaha ma'ana. Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kamu. Ingatlah Allah yang selalu bersama kita di kala sedih ataupun senang.

Seringkali saat kesulitan datang, kita merasa seolah kitalah orang paling menderita dan sengsara di dunia. Beban berat hiduppun memangkas harapan hidup. Seolah dunia hanya berputar di sekelilingmu. Percayalah, Allah tidak akan memberi ujian lebih dari kemampuan kita.

Saat masa-masa itu datang, jangan terlarut dalam penderitaan dan kesedihan, adalah saatnya Move up!

Kenapa Move up?

Karna hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Seburuk apapun hari kemarin, tetap harus berusaha dan berdoa dan bangkit dari keterpurukan itu. Masa depan kita yang menentukan, apakah indah pada waktunya atau menyesal kemudian.

Ingat?

Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada mereka.
(Q.S Ar Rad:11)

So, let's move up!

#30DWCjilid4 hari ke -16

This entry was posted in

Rabu, 15 Februari 2017

Hujan Kecil

Sabtu kelabu lagi. Ada apa dengan wajah murung itu? Apa karena tidak bisa pergi di Sabtu malam? Padahal lebih nyaman di dalam kamar.

Kutatap hujan dari balik jendela. Kukira hujan akan malu jika kutatap seperti ini. Tapi ternyata semakin besar. Sepertinya hujan sedang tidak bersahabat denganku. Hujan ingin aku tetap di rumah. Menatap kosong jendela yang dipenuhi tampias hujan. Menatap punggung yang sedang menunggu hujan reda di luar sana. Sesekali ia menjulurkan tangannya, merasakan dinginnya air hujan yang menggelitik. Pemilik punggung mungkin kedinginan, ia memeluk dirinya sambil menggosok telapak tangan. Rambutnya sedikit agak basah. Ah, kapan hujan akan selesai?

Beberapa anak kecil basah kuyup sambil memegang payung besar. Berlalu lalang di jalan menawarkan jasa 'ojek payung'. Seorang anak lelaki menawarkan payung besar terbaik miliknya, tapi orang itu menolak dengan halus. Ia lebih memilih menunggu di tempatnya sambil menatap hujan.

Aku bahkan tidak tahu seperti apa tatapannya, tapi mungkin rasanya senang saat ada yang menatapmu dengan tatapan yang menghangatkan. Aku masih setia dengan punggung itu. Sejak beberapa menit lalu, aku seperti hanyut dalam sebuah drama yang paling kusuka. Orang itu, ia menjulurkan tangannya lagi. Meraba hujan. Sepertinya hujan besar sudah berganti menjadi hujan kecil. Aku menatap punggung  yang mulai menjauh. Ia menyatu bersama hujan-hujan kecil. Samar aku melihat lengkung di sudut bibirnya, sepertinya menyenangkan berdansa dengan hujan.

Sejak beberapa detik lalu, aku iri dengan hujan. Aku ingin menjadi hujan kecil. Walaupun suatu saat aku harus pergi digantikan pelangi, pasti ada waktu lagi aku akan kembali.

Bekasi, 15 Februari 2017

#30DWCjilid4 hari ke - 15

Selasa, 14 Februari 2017

Kini Waktunya

Lelah...
Sampai rasanya aku ingin mencopot bahuku yang penuh amanah
Menenangkan jiwa yang terus gelisah
Membersihkan pikiran yang penuh masalah
Meluapkan segala amarah

Lelah...
Biarkan aku istirahat sejenak untuk melesat lebih jauh
Menangis sesaat untuk tersenyum lebih indah
Melupakan sedikit untuk mengingat lebih banyak
Egois sedikit untuk sabar lebih banyak

Lelah...
Tak apa walau lelah asal lillah
Tak apa tertatih asal tercapai
Tak apa menangis asal tak bersedih
Tak apa menyerah, jika masalah sudah selesai

Kini waktunya...
Memberi vitamin pada tubuh
Memberi vitamin pada ruh
Melawan rasa lelah
Menolak untuk menyerah


Dalam lelah di titik terjenuh, 14 Februari 2017

#30DWCjilid4 hari ke -14

This entry was posted in

Senin, 13 Februari 2017

Ibu Kita Kartini (Part END)

Satu dua ditambah dikurang
Semua terus diulang-ulang
Ilmu merekat di dalam jiwa
Untuk bekal saat nanti tua

Aku tak ingin cerdas sendiri
Aku tak ingin pandai sendiri
Aku tak ingin bisa sendiri
Aku tak ingin tahu sendiri

Biarkan aku mengobati mereka
Mengobati kebodohan
Mengobati kemiskinan
Aku ingin menjadi dokter pendidikan

Semua murid bertepuk tangan, aku tidak tahu apakah puisiku bagus atau tidak, aku tidak peduli. Bu Tini menatapku lama, kemudian menitikkan airmata, sepertinya hanya aku yang sadar. Aku tidak mengerti mengapa. Bu Tini lalu
menyuruhku duduk kembali.

"Puisi yang bagus, Maryam. Semoga cita-citamu itu tercapai.... Selanjutnya siapa lagi ingin membacakan puisinya?"

Pada akhirnya aku tau mengapa Bu Tini menangis kala itu. Aku sendiri sempat merasa tidak punya harapan. Aku ingin menjadi guru, menjadi seperti Bu Tini. Mengajar dengan caranya sendiri, membagi ilmu bermanfaat tanpa mengharap
dibalas lebih. Tapi semua hanya angan. Di usiaku yang terbilang muda, aku menderita katarak. Keluargaku tak punya uang untuk mengobati mataku. Jadi aku harus berteman dengan pandangan buram tiap saat, menikmati segala sesuatu tanpa jelas bentuknya.

Saat Bu Tini menulis materi pelajaran di papan, aku dibolehkan melihat dari jarak dekat. Penglihatanku memang kurang baik, maka dari itu aku lebih mengandalkan ingatanku untuk mencatat materi pelajaran. Aku ingat Bu Tini pernah bilang, "dalam belajar tidak ada keterbatasan, kita saja yang suka membatasi
belajar dengan rasa malas,". Beliau juga sering memotivasiku untuk terus belajar, mangatakan padaku, "Jadilah seperti Maryam, ia tegar dan kuat dalam kesulitan apapun, selalu meminta pertolongan Allah. Itu mengapa orangtuamu memberimu nama Maryam."

Sudah beberapa hari ini Bu Tini terlambat datang ke sekolah. Biasanya Bu Tini yang akan menyambut kami di depan sekolah. Seperti ada yang berbeda dari Bu
Tini. Pernah sekali Bu Tini pingsan di sekolah. Tak ada yang tau apa yang terjadi dengan Bu Tini. Aku pernah bertanya pada Bu Tini mengenai kondisinya. Dengan
tersenyum beliau mengatakan baik-baik saja. Aku tahu Bu Tini sedang tidak baik-baik saja. Saat sepulang sekolah, Bu Tini manggilku ke ruang guru. Biasanya orang yang diminta ke ruang guru adalah siswa bermasalah. Ternyata Bu Tini
memberiku sebuah buku. Buku yang amat tebal, mungkin kumpulan catatan materi.

"Jaga baik-baik, Maryam. Ibu percaya kamu bisa menggantikan ibu suatu saat nanti. Ajarkanlah kebaikan-kebaikan. Kelak jika muridmu nanti baik, maka
gurunya pastilah baik." Aku benar-benar bingung bagaimana aku bisa
membacanya sementara mataku seperti ini.

Esok harinya sampai jam tujuh murid-murid menunggu Bu Tini tak kunjung datang. Aku dan teman-teman memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Tini.
Langkah kaki kami. Sebuah bendera menancap tak jauh dari rumah Bu Tini. Perasaanku makin tak karuan. Orang-orang ramai berdatangan ke rumah Bu Tini. Aku memberanikan diri masuk. Seketika tubuhku kaku. Rasanya seperti tidak
berpijak, lemas sekali.

Silau mentari membangunkanku. Pusing rasanya mencoba mengingat kejadian kemarin. "Bu, Maryam kenapa?" tanyaku pada Ibu yang setia menjagaku.

"Kemarin kamu pingsan, Alhamdulillah sekarang sudah sadar. Ibu buatkan sayur
ya?" jawab Ibu, suaranya sedikit menangkan.

"Pingsan dimana, Bu?"

Ragu-ragu Ibu menjawab. "Di rumah Bu Tini, Maryam..."

Ya, aku mengingatnya. Aku telah kehilangan guru terbaik yang pernah ada. Kehilang sosok sahabat sekaligus Ibu kedua bagiku. Kehilangan juga dirasakan teman-temanku. Beberapa hari Mahzul dan teman-teman ziarah ke makam Bu Tini. Sekolah menjadi terasa
sepi. Belajar terasa tidak lagi mengasyikkan. Semua murid merindukan Bu Tini. Sampai suatu saat Ridho menemukan sebuah surat di ruang guru. Surat berisi
pesan Bu Tini, yang membuat kami berjanji untuk mau terus belajar.

Anakku, tak ada yang abadi di dunia ini. Bahkan kerasnya batu karang pun dapat dihancurkan. Kejarlah ilmu dan amalkan, bagilah dengan orang lain karena ilmu yang bermanfaat akan selamanya mengalir sampai hari akhir itu tiba. Kita boleh miskin harta, tapi jangan miskin ilmu apalagi miskin iman.
Kartini

Sehari setelah aku siuman, beberapa orang berjas putih dan pejabat daerah mendatangi rumahku. Mereka bilang aku mendapatkan bantuan operasi untuk mataku dari pemerintah. Aku pun sudah mendapat donor kornea mata dari
seseorang entahlah siapa. Saat aku bertanya mereka tidak memberitahu, aku diberi sebuah surat dan hanya boleh dibaca saat operasiku berhasil. Aku dibawa ke kota untuk menjalani operasi. Syukurlah, kini aku bisa melihat masa depan yang cerah, melihat indahnya dunia. Harus aku berterima kasih pada Tuhan dan orang baik hati yang membuatku sembuh.

Kartini, pendekar bangsa, harum namanya. Bu Tini lah yang menunjukkan padaku “habis gelap terbitlah terang” yang sebenarnya. Mengajarkanku artinya berjuang dalam pendidikan. Aku tak mungkin menderita katarak selamanya,
kemudian aku akan menjadi buta. Tapi Bu Tini hadir sebagai penerang masa depanku. Maka aku yang akan melanjutkan perjuangan Bu Tini, Kartini bagiku, Kartini bagi SD Darah Juang.


Bekasi, Mei 2016

#30DWCJilid4 hari ke 13

This entry was posted in

Minggu, 12 Februari 2017

Ibu Kita Kartini (Part 1/2)

Matahari bersembunyi malu-malu. Langit masih gelap saat anak-anak mulai berpamitan pada orangtuanya pergi ke sekolah. Aku menyalimi Ibu dan Ayah lalu menyusuri perjalanan panjang menuju sekolah bersama adikku, Musa.

Ditemani Musa, aku menyusuri jalan setapak, melewati ladang, melewati pasar, dan menyebrangi sungai kecil. Pasar adalah godaan terbesar, saat melewati pasar, aku dan Musa sering kali berhenti di tempat toko mainan, melihat mainan-mainan bagus dari luar toko. Saat matahari mulai meninggi pasar akan menjadi sangat padat, sulit sekali mencari jalan untuk sampai di ujung pasar.

Merah putih berkibar anggun di ujung bambu yang ditancapkan di tanah lapangan sekolah. Semua murid SD Darah Juang yang jumlahnya tak lebih dari lima puluh
berbaris rapih memberi hormat pada sang merah putih. Dan yang penting dari upacara hari senin adalah kalimat-kalimat sakti Bu Tini. Bu Tini adalah guru kami yang sudah hampir tiga puluh tahun mengabdi untuk SD Darah Juang. Ada tiga
guru dan satu kepala sekolah di SD Darah Juang. Dua guru lainnya adalah Pak Ram dan Bu Jei yang hanya mengajar di hari tertentu, sisanya di Kota. Bu Tini bukan PNS, puluhan kali beliau mengikuti seleksi namun tidak pernah lolos.

Aku senang dengan Bu Tini, dengan keterbatasan yang ada Bu Tini setia mengajar walaupun tak jarang digaji dengan beras, buah-buahan, atau hasil tani lainnya.

"Kita boleh miskin harta, tapi jangan miskin ilmu apalagi miskin iman."

Begitu kalimat penutup dari Bu Tini. Upacara sudah selesai. Lonceng tanda masuk berbunyi. Semua murid berebut masuk kelas. Di sekolahku, hanya ada dua ruang
kelas. Kelas satu sampai tiga digabung dalam satu ruang kelas. Pun begitu dengan kelas empat sampai enam. Dalam ruangan dibatasi dengan sekat yang membatasi masing-masing kelas. Bu Tini pertama kali akan masuk ke kelasku di lima belas menit pertama. Lalu ke kelas lima selanjutnya ke kelas empat.

Tak perlu menyebut nama untuk mengabsen karena jumlah murid di kelas enam masih dapat dihitung jari. Dengan melihat seisi kelas sekilas Bu Tini sudah tau siapa yang tidak hadir.

"Kemana Ridho?" tanya Bu Tini

"Tadi saya ketemu Ridho di pasar, Bu. Sedang membantu orangtuanya berjualan." jawab Lanang teman sebangku Ridho.

Resah tentu jika satu dari dua belas muridnya tidak masuk sekolah, apalagi kelas enam akan menjalani ujian nasional. Bu Tini adalah orang paling sibuk jika ada satu muridnya yang tidak masuk sekolah, mendatangi orang tua murid, membujuk agar anaknya dibolehkan pergi sekolah. Gurat lelah terlihat jelas di wajahnya, namun semua sirna demi melihat semangat muridnya untuk datang sekolah.

"Baik anak-anak kita mulai belajar hari ini, ya. Silahkan, kita mau belajar pelajaran apa hari ini?"

Seperti biasa Bu Tini akan menanyakan pelajaran apa
yang ingin kami pelajari, kami bebas memilih. Dengan begitu murid menjadi sedikit santai dan nyaman karna tidak melulu mengikuti peraturan harus belajar sesuai pelajaran yang telah ditentukan. Murid-murid berbisik-bisik, membuat kesepakatan pelajaran apa yang ingin dipelajari.

"Bahasa Indonesia, bu!" Jawab Mahzul, si ketua kelas. Yang lain kompak mengangguk.

"Baiklah, kalau kalian memilih pelajaran Bahasa Indonesia, hari ini kita akan belajar membuat puisi. Setelah itu kalian bacakan puisinya."

"Tentang apa, Bu, puisinya?" Tanya Siti.

"Bebas, Siti. Buatlah sebaik mungkin...."

"Bu, bagaimana cara membuat puisi?" tanya Mahzul.

"Ya, pertanyaan bagus Mahzul...." Selanjutnya Bu Tini menjelaskan bagaimana membuat puisi.

"Siapa mau membacakan puisinya terlebih dahulu?" Semua diam, nampak masih sibuk dengan puisi masing. Aku sendiri sudah menyelesaikan puisiku. Ragu-ragu aku mengangkat tangan.

"Ya, Maryam. Boleh Ibu lihat puisimu?" aku mengangguk memberikan buku tugasku kepada Bu Tini.

Hanya sebuah tulisan besar bertuliskan "Dokter Pendidikan" dalam buku. Tidak ada tulisan panjang berisi puisi. Bu Tini sama
sekali tidak marah, beliau tahu aku pasti menuliskan puisiku dalam ingatanku bukan dalam buku.

"Sekarang kamu boleh membacakan puisimu, Maryam." Aku bisa melihat walau tak jelas senyum Bu Tini menyemangatiku, membuatku mantap berdiri di depan
kelas membacakan puisi.

"Dokter Pendidikan, oleh Maryam

Satu dua ditambah dikurang
Semua terus diulang-ulang
Ilmu merekat di dalam jiwa
Untuk bekal saat nanti tua

Aku tak ingin cerdas sendiri
Aku tak ingin pandai sendiri
Aku tak ingin bisa sendiri
Aku tak ingin tahu sendiri

Biarkan aku mengobati mereka
Mengobati kebodohan
Mengobati kemiskinan
Aku ingin menjadi dokter pendidikan

Semua murid bertepuk tangan, aku tidak tahu apakah puisiku bagus atau tidak, aku tidak peduli. Bu Tini menatapku lama, kemudian menitikkan airmata, sepertinya hanya aku yang sadar. Aku tidak mengerti mengapa. Bu Tini lalu menyuruhku duduk kembali.

"Puisi yang bagus, Maryam. Semoga cita-citamu itu tercapai. Selanjutnya siapa lagi ingin membacakan puisinya?"

Pada akhirnya aku tau mengapa Bu Tini menangis kala itu.

(Bersambung)

#30DWCJilid4 Hari ke 12

This entry was posted in

Sabtu, 11 Februari 2017

Tak Usah Merindu

Di keramaian aku merasa sepi
Di terangnya malam aku merasa gelap
Di indahnya senja aku merasa muram
Di sejuknya pagi aku merasa tak bisa bernafas

Orang bilang itu rindu

Rindu....
yang terjebak oleh masa lalu
Membuat hariku sendu
Menyita waktu untuk menunggu
Tapi tak ada yang datang bertamu

Oh hati,
Bisakah kita berdamai?
Merelakan rindu yang mengotori hati

Sungguh Tuhan lebih merindu
Tuhan akan terus menunggu
Tapi tak kunjung kau bertamu
Apalagi yang kau tunggu?

Tuhan di sisimu, tak perlu kau merasa sepi
Menyendirilah dalam kemuliaan cinta hakiki
Menjaga kehormatan untuk yang sedang menanti
Lebih baik daripada kau merindu sendiri

Bekasi, 11 Februari 2017

#30DWCjilid4 hari ke 11

This entry was posted in

Jumat, 10 Februari 2017

Telepon Satu Menit

Tiap hari, tiap kali aku menatap layar ponsel
Aku hanya berharap sesuatu
Sesuatu yang seharusnya tidak bisa aku harapkan
Tapi apa salahnya berharap?
Hanya sebuah keinginan yang mungkin tidak akan menjadi kenyataan

Hingga aku lelah
Lelah berharap, dan lelah melihat kenyataan
Dering yang sangat aku ingin dengar
Nama yang sangat ingin aku lihat di layar ponselku
Mematahkan semua harapanku

Aku ingin,
Melewatkan satu menit yang selalu kuingat itu lagi
Satu menit yang merubah hidupku
Satu menit yang menghancurkan tembok pertahananku dalam sekejap

Walau aku tahu itu mustahil
Tapi biarkan aku tetap berharap
Karna dengan berharap aku yakin
Aku masih merasakannya

Bekasi, 10 Februari 2017

#30DWCJilid4 hari ke 10

This entry was posted in

Kamis, 09 Februari 2017

Kolam Susu

Samudra bergelimang berlian
Berubah menjadi empang
Lautan air susu
Berubah menjadi lautan lumpur

Tak lagi ada ikan
Tak ada penghasilan
Pergi ke laut hanya mencari sampah
Pulang ke rumah menghantar lelah

Oi, kasihan nasib nelayan
Anak tak sekolah
Istri tak makan
Tapi handuk selalu basah, dengan air mata

Berlayar hanyalah petaka
Mereka diusir dari tanah mereka sendiri
Dijajah pengembang
Para asing perut buncit yang kenyang makan uang

Reklamasi, mereka bilang untuk pembangunan
Pembangunan atau keuntungan?
Pribumi mereka bodohi
Siapa yang sebenarnya bodoh?

Ah, Lautan tak lagi kolam susu
Kolam susu kini habis terkuras
Habis oleh keserakahan
Turut berduka atas matinya nurani mereka

Bekasi, 9 Februari 2017

#30DWCjilid4 hari ke 9

This entry was posted in

Rabu, 08 Februari 2017

Purnama di Februari



Puluhan purnama berlalu 
Waktu terus melaju seperti kuda pacu
Meninggalkan memori yang termangu
Waktu tak ingin lama menunggu

Rindu..

Rindu hanya ilusi hati
Kenapa aku terus merindu walau harus tersakiti?
Tolong... rindu ini diobati
Apa aku harus merindu sampai mati?

Rindu...

Seperti Senin merindukan Minggu
Merah merindukan ungu
Laut merindukan gunung
Aku merindukan kamu

Rindu...

Sampai bulan terbelahpun rindu tetap rindu
Tapi cerita ini telah kehilangan alurnya, aku tak bisa lagi menunggu
Mari akhiri sampai di sini
Purnama di Februari...

Februari...

Tak akan lagi aku menanti
Kini rindu sudah mati
Jika kami akan bersua
Pastilah itu di syurga

Untuk yang pernah kurindu, kini kusudahi.

Bekasi, 8 Februari 2017
#30DWCjilid4 hari ke-8


Gambar: wallpaperstock.net
This entry was posted in

Selasa, 07 Februari 2017

Jalan Setapak

Kukira hidup ini 
sesederhana menutup mata
Saat kubuka kembali, hal sulit dengan mudah kulupakan
Andai hidup semudah itu
Aku pasti ingin hidup seribu tahun lahi

Kususuri garis jalan hidup ini
Perjalanan panjang melelahkan
Tapi kapan aku sampai?
Tak ada ujung untuk menjadi harapan

Di jalan setapak aku terseok-seok
Dengan peluh dan darah
Menggapai ujung yang entah ada atau tidak
Kakiku tetap berjalan, selama ia mampu

Kemana tujuan?
Aku berjalan tanpa tujuan adalah mustahil
Kemana harapan?
Aku hidup tanpa harapan seperti mati

Ternyata jalan ini panjang
Aku hanya perlu terus berjuang
Walau tujuan jauh dari mata memandang
Aku akan tetap berjalan demi yang Maha Penyayang

Bekasi, 7 Februari 2017
#30DWCJilid4 hari ke-7

This entry was posted in

Senin, 06 Februari 2017

Negeri Komedi

Selamat datang!
Di negeri dimana rakyat miskin ditertawakan
Rakyat lemah ditertawakan

Gerai tawa penguasa kesenangan mendapat pundi rupiah
Gerai tawa penguasa kesenangan dibodohi asing
Gerai tawa yang menggema di seluruh negeri

Ah, lucunya negeri ini
Saat suara klakson menjadi penghibur rakyat kecil
Derita rakyat kecil lah penghibur para penguasa
Tentu mereka tidak akan membiarkan rakyat kecil mereka bahagia

Saat laut dirusak dan sumber daya dikuras, mereka tertawa bahagia
Saat negara tak punya uang laku mereka memeras rakyat kecil, mereka tertawa bahagia

Maka ketika Tuhan merampas semua dari tangan mereka, masihkah mereka tertawa seperti itu?

Bekasi, 2016

#30DWCjilid4 hari ke-6

This entry was posted in

Minggu, 05 Februari 2017

Kemerdekaan yang Terjajah



Gambar: dokumentasi pribadi



Laut tak lagi lepas, dijajah reklamasi
Hutan tak lagi rindang
Kilau emas hanya milik asing
Derita milik pribumi

Hukum dikangkangi penguasa
Rakyat tak lagi bisa bersuara
Berani bicara,
Siap mengahadap jeruji besi

Mahasiswa bergerak
Mereka bilang atas kepentingan elit politik
Penguasa bertindak
Mereka bilang atas kepentingan rakyat

Bukan hanya tempe yang bisa dibeli
Suara rakyat kini mereka beli
Demi sebuah kursi kuasa
Hati nurani tak lagi mereka rasa

Bekasi, 5 Februari 2017
#30DWCjilid4 Hari ke-5 
This entry was posted in

Sabtu, 04 Februari 2017

Nila dan Jingga (Teman Khayalan)

Gambar: duniasehat.net


"Nila! Jangan jauh-jauh mainnya! Kalau sudah maghrib, bergegas pulang!" teriak ibu dari dalam rumah.

"Iya, bu."

Nila menghampiri keenam temannya yang sudah menunggu di luar rumah.

"Kita mau main apa?" tanya Nila.

"Main bola kaki!" teriak Ocan paling semangat.

"Ah, aku tidak suka main bola, Can." Ruri tidak setuju.

"Main masak-masak?" tanya Mimi.

"Sudahlah, laki-laki hanya bisa makan, Mi." Ruri masih tidak setuju.

"Petak umpat, semua orang bisa, kan? Main petak umpat saja, bagaimana?" Tawar Dino.

Semua tampak berpikir lalu akhirnya mengangguk setuju.
"Ayo, kita main di kebun paman Chang!"

***

"Lima... Empat... Tiga... Dua... Satu... Sudah?"

"Sudaaah!"

Nila membuka matanya, lalu mulai mencari teman-temannya. Ia berjalan mengendap-endap.

Sskkk..ssskk.. Terdengar bunyi berisik dari balik semak.

"Ocan... Pong!" teriak Nila kegirangan.

Mimi paling tidak bisa bersembunyi. Ia bersembunyi di balik gerobak, kaki dan badannya tertutup, tapi kepalamya tidak. Seharusnya ia berjongkok.

"Mimi... Pong!"

"Ruri... Pong!" Ruri ketahuan saat akan pindah tempat bersembunyi.

"Ayo, Nila, cari Dino! Dia pasti sulit ditemukan."

Dino, dengan badannya yang kurus kecil dia bisa bersembunyi dimana saja. Dino yang bersembunyi di atas pohon hampir saja jatuh. Sayang, sendalnya yang benar-benar jatuh.

"Dinoooo! Pong!"

"Yeaaay Dino kena!" Sorak teman-teman Nila.

"Ah, satu lagi." Nila merasa masih ada lagi temannya yang belum ditemukan. Di sekitar kebun paman Chang ia tidak ada. Lalu dimana?

"Nila mau kemana? Ini sudah hampir maghrib, ayo pulang!" ajak teman-teman Nila.

"Aku masih belum sapat satu lagi!"
Teman-temannya saling memandang bingung.

"Jingga, kamu dimana? Ayo keluar, aku lelah!" Entah berapa jauh dari kebun paman Chang Nila mencari. Bahkan sampai ke sungai.

Nila melihat sekelebat bayangan di balik pohon. Ia yakin itu Jingga.

"Nila!"

Nila mencari pemilik suara. Benar, itu Jingga. Jingga yang melayang, menari-nari di atas tanah.

"Jingga.... "



#30DWCjilid4 hari ke-4

Jumat, 03 Februari 2017

Benang Merah


Gambar: tahupedia.com

Ini akan menjadi benang merah hidupku
Alasan kenapa aku memilih jalan ini
Tak usah menanggapi, karna aku tak butuh
Karna aku yang menjalani

Kamis, 02 Februari 2017

Hitam - Putih


Gambar: pixabay.com



Kehidupan ini seperti koin, memiliki dua sisi. Angka dan gambar. Dunia dan akhirat. Baik dan buruk. Hitam dan putih.

Bagiku di kehidupan ini hanya ada dua jenis manusia; orang yang melakukan kebaikan, dan orang yang melawan kebaikan. Kegelapan itu hadir karena hilangnya cahaya terang. Lalu kita ini termasuk yang mana?