Matahari bersembunyi malu-malu. Langit masih gelap saat anak-anak mulai berpamitan pada orangtuanya pergi ke sekolah. Aku menyalimi Ibu dan Ayah lalu menyusuri perjalanan panjang menuju sekolah bersama adikku, Musa.
Ditemani Musa, aku menyusuri jalan setapak, melewati ladang, melewati pasar, dan menyebrangi sungai kecil. Pasar adalah godaan terbesar, saat melewati pasar, aku dan Musa sering kali berhenti di tempat toko mainan, melihat mainan-mainan bagus dari luar toko. Saat matahari mulai meninggi pasar akan menjadi sangat padat, sulit sekali mencari jalan untuk sampai di ujung pasar.
Merah putih berkibar anggun di ujung bambu yang ditancapkan di tanah lapangan sekolah. Semua murid SD Darah Juang yang jumlahnya tak lebih dari lima puluh
berbaris rapih memberi hormat pada sang merah putih. Dan yang penting dari upacara hari senin adalah kalimat-kalimat sakti Bu Tini. Bu Tini adalah guru kami yang sudah hampir tiga puluh tahun mengabdi untuk SD Darah Juang. Ada tiga
guru dan satu kepala sekolah di SD Darah Juang. Dua guru lainnya adalah Pak Ram dan Bu Jei yang hanya mengajar di hari tertentu, sisanya di Kota. Bu Tini bukan PNS, puluhan kali beliau mengikuti seleksi namun tidak pernah lolos.
Aku senang dengan Bu Tini, dengan keterbatasan yang ada Bu Tini setia mengajar walaupun tak jarang digaji dengan beras, buah-buahan, atau hasil tani lainnya.
"Kita boleh miskin harta, tapi jangan miskin ilmu apalagi miskin iman."
Begitu kalimat penutup dari Bu Tini. Upacara sudah selesai. Lonceng tanda masuk berbunyi. Semua murid berebut masuk kelas. Di sekolahku, hanya ada dua ruang
kelas. Kelas satu sampai tiga digabung dalam satu ruang kelas. Pun begitu dengan kelas empat sampai enam. Dalam ruangan dibatasi dengan sekat yang membatasi masing-masing kelas. Bu Tini pertama kali akan masuk ke kelasku di lima belas menit pertama. Lalu ke kelas lima selanjutnya ke kelas empat.
Tak perlu menyebut nama untuk mengabsen karena jumlah murid di kelas enam masih dapat dihitung jari. Dengan melihat seisi kelas sekilas Bu Tini sudah tau siapa yang tidak hadir.
"Kemana Ridho?" tanya Bu Tini
"Tadi saya ketemu Ridho di pasar, Bu. Sedang membantu orangtuanya berjualan." jawab Lanang teman sebangku Ridho.
Resah tentu jika satu dari dua belas muridnya tidak masuk sekolah, apalagi kelas enam akan menjalani ujian nasional. Bu Tini adalah orang paling sibuk jika ada satu muridnya yang tidak masuk sekolah, mendatangi orang tua murid, membujuk agar anaknya dibolehkan pergi sekolah. Gurat lelah terlihat jelas di wajahnya, namun semua sirna demi melihat semangat muridnya untuk datang sekolah.
"Baik anak-anak kita mulai belajar hari ini, ya. Silahkan, kita mau belajar pelajaran apa hari ini?"
Seperti biasa Bu Tini akan menanyakan pelajaran apa
yang ingin kami pelajari, kami bebas memilih. Dengan begitu murid menjadi sedikit santai dan nyaman karna tidak melulu mengikuti peraturan harus belajar sesuai pelajaran yang telah ditentukan. Murid-murid berbisik-bisik, membuat kesepakatan pelajaran apa yang ingin dipelajari.
"Bahasa Indonesia, bu!" Jawab Mahzul, si ketua kelas. Yang lain kompak mengangguk.
"Baiklah, kalau kalian memilih pelajaran Bahasa Indonesia, hari ini kita akan belajar membuat puisi. Setelah itu kalian bacakan puisinya."
"Tentang apa, Bu, puisinya?" Tanya Siti.
"Bebas, Siti. Buatlah sebaik mungkin...."
"Bu, bagaimana cara membuat puisi?" tanya Mahzul.
"Ya, pertanyaan bagus Mahzul...." Selanjutnya Bu Tini menjelaskan bagaimana membuat puisi.
"Siapa mau membacakan puisinya terlebih dahulu?" Semua diam, nampak masih sibuk dengan puisi masing. Aku sendiri sudah menyelesaikan puisiku. Ragu-ragu aku mengangkat tangan.
"Ya, Maryam. Boleh Ibu lihat puisimu?" aku mengangguk memberikan buku tugasku kepada Bu Tini.
Hanya sebuah tulisan besar bertuliskan "Dokter Pendidikan" dalam buku. Tidak ada tulisan panjang berisi puisi. Bu Tini sama
sekali tidak marah, beliau tahu aku pasti menuliskan puisiku dalam ingatanku bukan dalam buku.
"Sekarang kamu boleh membacakan puisimu, Maryam." Aku bisa melihat walau tak jelas senyum Bu Tini menyemangatiku, membuatku mantap berdiri di depan
kelas membacakan puisi.
"Dokter Pendidikan, oleh Maryam
Satu dua ditambah dikurang
Semua terus diulang-ulang
Ilmu merekat di dalam jiwa
Untuk bekal saat nanti tua
Aku tak ingin cerdas sendiri
Aku tak ingin pandai sendiri
Aku tak ingin bisa sendiri
Aku tak ingin tahu sendiri
Biarkan aku mengobati mereka
Mengobati kebodohan
Mengobati kemiskinan
Aku ingin menjadi dokter pendidikan”
Semua murid bertepuk tangan, aku tidak tahu apakah puisiku bagus atau tidak, aku tidak peduli. Bu Tini menatapku lama, kemudian menitikkan airmata, sepertinya hanya aku yang sadar. Aku tidak mengerti mengapa. Bu Tini lalu menyuruhku duduk kembali.
"Puisi yang bagus, Maryam. Semoga cita-citamu itu tercapai. Selanjutnya siapa lagi ingin membacakan puisinya?"
Pada akhirnya aku tau mengapa Bu Tini menangis kala itu.
(Bersambung)
#30DWCJilid4 Hari ke 12