Jumat, 26 Februari 2016

Istanaku

     Pagi-pagi sekali aku terbangun oleh suara-suara ribut di luar. Aku penasaran dengan apa yang terjadi tapi teringat belum sholat subuh, aku laksanakan dahulu kewajibanku. Selesainya aku keluar rumah masih dengan penasaran. Bapak Ibuku sudah ada di depan rumah. Bersama Pak Ridwan-ketua RT disini- juga tetangga-tetanggaku yang kebanyakan orang dewasa. Juga ada orang-orang berpakaian rapih disana. Aku ingin ikut bergabung tapi rasanya tidak pantas anak umur 13 tahun sepertiku seperti ikut campur urusan orang dewasa. Jadilah aku berdiri di daun pintu sambil menguping pembicaraan mereka. Tidak baik sebenarnya, tapi aku penasaran. 

"Memangnya nggak bisa diperpanjang, Pak, waktunya?" Kata seorang ibu-ibu.

"Nggak bisa, bu. Pemda udah ngasih waktu enam bulan, kan." Jawab seorang bapak-bapak.

"Saya juga udah usahakan membujuk tapi mereka nggak terima alasan." Kata Pak Ridwan. 

Diperpanjang? Pemda? Apa yang mereka bicarakan, sih?

"Kami nggak punya tempat tinggal lagi, Pak. Bagaimana ini?" itu suara Bapakku.

"Bapak bisa segera cari tempat baru, mumpung masih diberikan dispensasi waktu dua hari." Jawab seorang bapak-bapak.

"Enak benar kau bicara! Bertahun-tahun kita tinggal disini. Kau kira pindah dengan uang lima ratus ribu dan diberi waktu dua hari mudah? Kau pikir itu!" Itu Bang Ebay. Sepertinya beliau sedikit emosi. Terlihat beberapa bapak-bapak menenangkannya.

"Jadi, bagaimana ini, Pak?" Tanya Pak Ridwan terdengar pasrah. 

"Ya, satu lagi alat berat akan tiba sore ini. Lusa penggusurannya. Kami mohon pengertiannya." Aku sudah tidak mendengarkan kalimat terakhirnya. Kakiku terasa seperti agar-agar. Aku terduduk di daun pintu. Air mata keluar seperti sungai. Rumahku.... Rumahku akan digusur?

      Rumah. Tempat untuk aku pulang. Tempat aku dan orang tuaku berbagi kasih. Tempat kami berteduh. Tempat ternyaman yang pernah ada. Berjuta kenangan hadir disini. Dari sejak aku lahir sampai sekarang. Rumahku Istanaku. Kini mereka mau menghancurkan istanaku! Tak akan ada lagi istana seperti istanaku. Tidak ada. 

      Anak-anak dan beberapa orang lainnya berurai air mata. Ada yang berteriak histeris. Ada yang mencoba menghentikan Penggusuran. Apa daya kami si rakyat kecil? Akan kalah dengan uang manusia berdasi. Hukum pun tak tentu bisa melindungi kami. Hukum saja sudah tumpul ke atas tajam ke bawah. Kami lah yang tertindas. Percuma menghabiskan tenaga. Mereka akan tetap menggusur rumah kami. Istana kami. Tidak ada lagi istana. Tidak ada. 

0 komentar:

Posting Komentar