Senin, 29 Februari 2016

Dijual: Hati yang Retak

Aku sedang memasak makan malam di dapur saat suamiku pulang. Segera kubuatkan kopi. Hari ini sengaja kukenakan gaun biru selutut dan rambut digerai agar terlihat menarik. Kupikir ia lupa dengan hari pernikahan kami yang ketiga tahun. Hampir saja aku memasang wajah cemberut. Itupun ia sadar saat kuberi 'kode'. Mas Joni memberiku sebuah kalung. 

"Ini emas atau perak, mas?"
"Emas, sayang." Tahu saja ia yang aku mau. 

Aku meneliti kalung tersebut. Liontinnya berbentuk setengah hati yang retak. Kata mas Joni, pasangan liontinnya ia simpan. Di belakang liontin tertulis sebuah nama, 'Ranti'. Namaku Wati. Esoknya kujual kalung itu.

Laser Hijau

Malam hari tampak ramai dengan lampu warna-warni. Deru suara kedaraan masih banyak bersahutan. Udara malam terasa menusuk tulang. Inilah kota yang tidak pernah tidur. 

Saat anak-anak seusianya sudah disuruh cuci tangan dan kaki lalu, tidak bagi Aji. Masih mengais rupiah di jalanan ibu kota. Saat dirasanya cukup uang yang terkumpul, ia segera bergegas mencari makan. Tak kuasa menahan lapar sejak siang. 

Ada satu yang menarik perhatiannya diperjalanannya menuju warung makan. Sebuah cahaya berwarna hijau. Ia terkagum dengan cahaya tersebut, mampu menembus jarak jauh. Membuatnya penasaran mencari dimana sumber cahaya tersebut. 
Di sanalah, di sebuah tenda kecil yang menjajakan lampu-lampu. Ia ingin sekali memilikinya satu. 

"Mau beli yang mana, dek?" Tanya seorang wanita paruh baya, umurnya sekitar lima puluhan.

"Itu berapa, bu?" 

"Laser hijau dua puluh ribu, dek."
Aji menghitung uang disakunya. Lalu menyerahkan semuanya pada si penjual. Aji sangat senang bisa mendapatkan benda kecil itu. Pasti Ibunya juga ikut senang. Aju bergegas pulang. Sesampainya memanjat arap rumah. Menyalakan benda kecil tadi lalu mengarahkannya ke langit. Tak tahu sampai dimana cahaya hijau itu berujung. Tak peduli malam ini tidak makan. Yang jelas sekarang Aji sangat senang. 

"Bu, ini sinyal dari Aji. Ibu liat kan? Artinya Aji baik-baik aja disini. Ibu gimana disana? Ibu baik-baik aja kan di surga sana?"

Angin malam berhembus. Dinginnya menembus tulang. Seolah itu adalah sinyal jawaban dari Ibunya. 

Sabtu, 27 Februari 2016

Black Looks Good on Me

      Aku menyisir rambut panjangku yang menipis. Legamnya begitu terlihat kontras dengan wajahku. Lalu menebalkan alis. Memoles bibir dengan warna merah muda. Sedikit taburan blush on agar terlihat merona. Aku berdiri dan berputar di depan cermin. Gaun hitam selutut yang kupakai hampir setiap hari terlihat lebih anggun ditimpa cahaya matahari. Ah, aku sudah cantik dan siap berangkat.

      Bunga-bunga indah sudah kusiapkan. Aku menelusuri jalan setapak. Melewati gundukan-gundukan tanah. Mataku mengedar mencari sebuah nama. Ketemu! 

      Menabur bunga-bunga diatas gundukan tanah dan batu nisan bernamakan suamiku, Revo. Membacakan sedikit doa yang kuhafal. Mengecup nisannya seolah benda itu adalah wujud suamiku. Lalu aku beralih pada gundukan tanah di sebelahnya. Ukurannya lebih kecil dengan nisan tak bernama. Kutaburi bunga lalu mengecup nisannya. Putra kecilku yang malang, yang tak pernah ku kenali wajahnya. Kini mereka pasti sudah bermain-main di syurga. Menyaksikan aku dari atas langit.

      Awan mulai bergemuruh. Tak lagi sebiru tadi pagi. Aku mulai berdiri dan merapihan pakaianku. Seketika tubuhku lemas. Kepalaku terasa seperti ditimpa batu besar. Benda jahat itu pasti sedang berkembang biak dalam tubuhku. Terasa hembusan malaikat dibahuku seolah mengingatkan waktuku tak akan lama. Semua terasa gelap. Hitam legam seketika. Seperti kehidupanku sekarang. Tak ada lagi warna. Kehidupanku segelap langit hari ini. Hitam mungkin cocok untukku.

Jumat, 26 Februari 2016

Istanaku

     Pagi-pagi sekali aku terbangun oleh suara-suara ribut di luar. Aku penasaran dengan apa yang terjadi tapi teringat belum sholat subuh, aku laksanakan dahulu kewajibanku. Selesainya aku keluar rumah masih dengan penasaran. Bapak Ibuku sudah ada di depan rumah. Bersama Pak Ridwan-ketua RT disini- juga tetangga-tetanggaku yang kebanyakan orang dewasa. Juga ada orang-orang berpakaian rapih disana. Aku ingin ikut bergabung tapi rasanya tidak pantas anak umur 13 tahun sepertiku seperti ikut campur urusan orang dewasa. Jadilah aku berdiri di daun pintu sambil menguping pembicaraan mereka. Tidak baik sebenarnya, tapi aku penasaran. 

"Memangnya nggak bisa diperpanjang, Pak, waktunya?" Kata seorang ibu-ibu.

"Nggak bisa, bu. Pemda udah ngasih waktu enam bulan, kan." Jawab seorang bapak-bapak.

"Saya juga udah usahakan membujuk tapi mereka nggak terima alasan." Kata Pak Ridwan. 

Diperpanjang? Pemda? Apa yang mereka bicarakan, sih?

"Kami nggak punya tempat tinggal lagi, Pak. Bagaimana ini?" itu suara Bapakku.

"Bapak bisa segera cari tempat baru, mumpung masih diberikan dispensasi waktu dua hari." Jawab seorang bapak-bapak.

"Enak benar kau bicara! Bertahun-tahun kita tinggal disini. Kau kira pindah dengan uang lima ratus ribu dan diberi waktu dua hari mudah? Kau pikir itu!" Itu Bang Ebay. Sepertinya beliau sedikit emosi. Terlihat beberapa bapak-bapak menenangkannya.

"Jadi, bagaimana ini, Pak?" Tanya Pak Ridwan terdengar pasrah. 

"Ya, satu lagi alat berat akan tiba sore ini. Lusa penggusurannya. Kami mohon pengertiannya." Aku sudah tidak mendengarkan kalimat terakhirnya. Kakiku terasa seperti agar-agar. Aku terduduk di daun pintu. Air mata keluar seperti sungai. Rumahku.... Rumahku akan digusur?

      Rumah. Tempat untuk aku pulang. Tempat aku dan orang tuaku berbagi kasih. Tempat kami berteduh. Tempat ternyaman yang pernah ada. Berjuta kenangan hadir disini. Dari sejak aku lahir sampai sekarang. Rumahku Istanaku. Kini mereka mau menghancurkan istanaku! Tak akan ada lagi istana seperti istanaku. Tidak ada. 

      Anak-anak dan beberapa orang lainnya berurai air mata. Ada yang berteriak histeris. Ada yang mencoba menghentikan Penggusuran. Apa daya kami si rakyat kecil? Akan kalah dengan uang manusia berdasi. Hukum pun tak tentu bisa melindungi kami. Hukum saja sudah tumpul ke atas tajam ke bawah. Kami lah yang tertindas. Percuma menghabiskan tenaga. Mereka akan tetap menggusur rumah kami. Istana kami. Tidak ada lagi istana. Tidak ada. 

Rabu, 24 Februari 2016

Aku Si Serba Salah

      Aku adalah segumpal air yang besar. Ditengah perjalanan tubuhku terpecah belah menjadi berbagai kepingan. Tubuhku melaju dengan kecepatan amat tinggi.

      Aku bisa mendengar orang-orang mengumpat, mencaci maki diriku, kehadiranku dianggap membawa sial. Tapi ada juga yang senang dengan kehadiranku. Dan menganggapku berkah.

      Saat bagian kecilku menyentuh tanah, menyeruaklah aroma petrichor yang begitu menenangkan. Bagian yang lain menyangkut dipermukaan daun, memberi sebuah harapan hidup yang baru bagi tumbuhan. Bagian yang lain terdampar di sebuah kain melengkung, merosot sebentar lalu jaduh jua ke bawah tanah. Bagianku yang lainnya lagi mengering dibeberapa tempat. 

      Berhari-hari aku datang ke bumi. Banyak orang makin mengumpat. Aku disebut-sebut dalam berita dan surat kabar. Tapi tak sedikit anak-anak yang senang bermain denganku.

      Aku juga suka berkumpul dengan kawananku. Membuat kami terlihat seperti air bah. Membuat banyak orang makin mengumpat dan tidak senang dengan kehadiranku. Inilah ujian untuk mereka yang tidak bersyukur.

      Aku ini anugrah juga berkah yang diturunkan Tuhan dari langit. Saat matahari terik dalam beberapa bulan mereka mengeluh dan selalu mengundangku untuk datang ke bumi mereka. Mereka takut usaha perkebunan atau persawahan mereka gagal total, maka dari itu mereka mengundangku. Mereka membutuhkanku. Tapi disaat aku lebih rajin datang ke bumi, orang-orang itu tak suka padaku. Tak suka akan kehadiranku. Aku merasa menjadi serba salah. Tidak bisakah mereka bersyukur?

 "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Rabu, 17 Februari 2016

Hakuna Matata: Dia Arya

      Hujan deras dari tadi malam hingga pagi belum juga reda. Padahal aku harus berangkat ke sekolah pagi-pagi biar tidak telat. Walaupun bisa kutebak tidak ada upacara hari ini karena lapangan banyak kubangan air. Tapi hari ini ada pelajaran kesukaanku, fisika. 

      Hujan reda sekitar pukul enam lewat tigah puluh. Setengah jam lagi pintu gerbang sudah ditutup. Bunda melarangku ke sekolah hari ini. Akan banyak yang tidak masuk juga katanya. Tapi aku beralasan kalau hari ini ada tugas kimia yang harus dikumpulkan. Aku pergi naik angkot ke sekolah. 

      Jalanan menjadi sunyi sejenak. Semua kendaraan baik mobil dan motor mematikan mesinnya. Sudah lima belas menit terjebak macet. Angkot yang kunaiki tidak bergerak sama sekali.

Satu detik.

Dua detik.

Lima detik.

Tiiiiiin! Tiiiiin! 
      Suara klakson dari kendaraan yang mulai tak sabar saling bersahutan. Ada apa sih macet separah ini? Aku mulai gelisah. Sepuluh menit lagi gerbang sudah ditutup. Ah, harusnya aku dengar kata Bunda tadi. Tapi terlanjur aku sudah ditengah kemacetan. Seseorang mengetuk kaca angkot yang kusandari. Semua penumpang menoleh, termasuk aku. Itu kan....Arya! Arya memberi isyarat padaku untuk turun dan menunjuk ke arah kendaraan yang menumpuk di depan angkot. Aku langsung turun dan membayar. Aku mengikuti Arya menuju motornya yang ia parkir di pinggir jalan dekat ruko-ruko. 

"Kalau kamu tetap naik angkot ke sekolah, aku bisa umroh dulu terus balik lagi, kamu baru sampe di sekolah," kata Arya. Itu berlebihan. Aku tertawa.
Arya melihat jam tangannya.

"Lima....."

"Empat...." 

"Tiga....." Ternyata Arya berhitung mundur.

"Dua....." Tapi untuk apa? Ini kan bukan malam tahun baru.

"Satu...." Arya menatapku kemudian tersenyum. Aku menatap Arya bingung.

"Selamat! Pintu gerbang sudah ditutup! Kamu mau jalan-jalan denganku, Arin?" tanya Arya.

"Hah?" aku bingung. Sejenak aku berpikir kemudian paham. Ah, percuma juga ke sekolah. Pasti gerbang sudah ditutup.
"Kemana?" tanyaku.
"Kita ke luar angkasa!" maksudnya Bekasi.

***

      Dia Arya. Bukan pacarku. Hanya seorang lelaki yang mampu menjungkir balikkan hidupku. Yang datang kerumahku malam-malam membawa sepanci bakso buatan Pak De, penjual bakso paling enak seantero SMA-ku. Waktu itu Ayah yang membukakan pintu. Ayah memarahi Arya.
"Oh jadi kamu cowok yang suka bawa jalan Arin? Jangan macem-macem ya kamu dengan Arin, atau kamu akan saya gantung di tiang ring basket." kata Ayah yang memang penggila Basket sejak muda dengan galak.

     "Maaf, Om. Nanti kalau mau bawa jalan Arin saya izin ke Om. Nah, sekarang saya mau izin ke Om untuk bawa Arin jalan kapan-kapan. Boleh kan, Om? Saya juga bawa bakso kesukaan Arin." Arya menunjukkan panci berisi bakso yang ia bawa.

     Ayah sedikit terkejut. Juga bingung. Malam itu, aku dan keluarga juga Arya makan malam dengan bakso. Ayah akhirnya membolehkan Arya membawaku jalan. Asal dikembalikan lagi ke rumah, itu syaratnya. Aku senang. 

      Sebelum pulang aku sempat mengobrol dengan Arya. 
"Lihat? Aku bisa menghadapi Ayahmu yang galak, apalagi semua orang yang mengganggumu. Kalau ada yang macem-macem denganmu, akan ku gantung mereka di tiang ring basket." 
Aku tertawa, Arya meniru perkataan Ayah.
"Iya, terima kasih, Arya," ucapku tulus. "Arya nggak harus ngelakuin itu. Arin bisa jaga diri, kok."
"Aku harus, Arin. Aku harus," diam sejenak. "Hakuna matata, Arin." Arya tersenyum.
Aku bahagia. Setidaknya aku sedikit tenang. Ada seseorang yang akan menyelamatkan masa indah-ku di SMA. Tak perlu lagi takut dengan mereka yang suka mencemooh. Dia Arya. Bukan pacarku. 


(to be continue)


.
.
.
© 
Hari Ketiga di #30DWC

Selasa, 16 Februari 2016

Sendirian

#FlashFiction
.
.
.

     Tepat empat puluh hari kepergian Ayah. Ia tewas dibunuh kekasihnya sendiri. Ah, panggilan 'Ayah' tidak cocok untuknya. Mana ada ayah yang selalu menyiksa anak-anaknya? Memukuli istrinya? Tidak memberi nafkah? Tidak bertanggung jawab. Mungkin itu karma.

     Tak ada acara empat puluh harian. Tak ada yang mau mengurusi. Ibu sakit dan kak Doni baru pulang selarut ini. Selalu dalam keadaan mabuk. Selalu.

"Darimana aja baru pulang? ibu nyari kakak mulu dari tadi," sejak pagi ibu tidak henti-hentinya memanggil nama anak pertamanya itu.
"Bukun urusan lo, anak kecil!" ia membentakku, menamparku, kemudian melengos masuk kamar mandi.

***

     Pagi hari kak Doni sudah terbujur kaku. Tubuhnya membiru di dalam bath up. Ibu histeris. Mungkin itu karma.

     Ini yang aku mau. Semua perhatian ibu hanya untukku. Untuk apa masih memperhatikan suami dan anak yang sudah memperlakukan ibu dengan kasar. Biarlah Ayah mati tidak dengan tanganku langsung, tetapi kakakku.... polisi tidak akan tahu aku yang membunuhnya. Aku ingin semua perhatian ibu hanya untukku. Tapi ibu juga pergi. 

     Ibu begitu syok kehilangan suami dan anak kesayangannya. Hingga akhirnya penyakit jantungnya kambuh. Dua hari di rumah sakit kemudian Ibu meninggal. Tak apa. biarlah hartanya yang menjadi temanku. Membayar semua perhatian Ibu. Mungkin itu karma.

Minggu, 14 Februari 2016

RINAI

#FlashFiction
.
.
.


     Aku Rinai. Ya, aku suka hujan. Aku suka petir dan kilatnya. Aku tidak suka pelangi, yang hadir setelah hujan pergi. Pelangi suka datang terlambat. Aku tidak suka.

***

     Hujan deras ditambah kilat disusul petir yang saling bersahutan. Anak-anak itu girang lompat-lompatan dibawah hujan. 
"Kita lagi difoto! difoto dari langit!" namun berikutnya mereka teriak histeris dan berhamburan. Mereka melupakan seseorang.

     Gadis kecil itu bingung teman-temannya pergi meninggalkannya. Dia tak peduli, tetap asik bermain hujan. Kilat menyala kembali disusur petir. Aliran listrik beribu volt menyengat gadis itu.

***

     Aku suka hujan. Aku suka petir dan kilatnya walaupun aku tak pernah mendengar suara petir. Aku tak suka pelangi. Selalu aku menunggunya tapi ia datang saat aku pergi.