Hujan deras dari tadi malam hingga pagi belum juga reda. Padahal aku harus berangkat ke sekolah pagi-pagi biar tidak telat. Walaupun bisa kutebak tidak ada upacara hari ini karena lapangan banyak kubangan air. Tapi hari ini ada pelajaran kesukaanku, fisika.
Hujan reda sekitar pukul enam lewat tigah puluh. Setengah jam lagi pintu gerbang sudah ditutup. Bunda melarangku ke sekolah hari ini. Akan banyak yang tidak masuk juga katanya. Tapi aku beralasan kalau hari ini ada tugas kimia yang harus dikumpulkan. Aku pergi naik angkot ke sekolah.
Jalanan menjadi sunyi sejenak. Semua kendaraan baik mobil dan motor mematikan mesinnya. Sudah lima belas menit terjebak macet. Angkot yang kunaiki tidak bergerak sama sekali.
Satu detik.
Dua detik.
Lima detik.
Tiiiiiin! Tiiiiin!
Suara klakson dari kendaraan yang mulai tak sabar saling bersahutan. Ada apa sih macet separah ini? Aku mulai gelisah. Sepuluh menit lagi gerbang sudah ditutup. Ah, harusnya aku dengar kata Bunda tadi. Tapi terlanjur aku sudah ditengah kemacetan. Seseorang mengetuk kaca angkot yang kusandari. Semua penumpang menoleh, termasuk aku. Itu kan....Arya! Arya memberi isyarat padaku untuk turun dan menunjuk ke arah kendaraan yang menumpuk di depan angkot. Aku langsung turun dan membayar. Aku mengikuti Arya menuju motornya yang ia parkir di pinggir jalan dekat ruko-ruko.
"Kalau kamu tetap naik angkot ke sekolah, aku bisa umroh dulu terus balik lagi, kamu baru sampe di sekolah," kata Arya. Itu berlebihan. Aku tertawa.
Arya melihat jam tangannya.
"Lima....."
"Empat...."
"Tiga....." Ternyata Arya berhitung mundur.
"Dua....." Tapi untuk apa? Ini kan bukan malam tahun baru.
"Satu...." Arya menatapku kemudian tersenyum. Aku menatap Arya bingung.
"Selamat! Pintu gerbang sudah ditutup! Kamu mau jalan-jalan denganku, Arin?" tanya Arya.
"Hah?" aku bingung. Sejenak aku berpikir kemudian paham. Ah, percuma juga ke sekolah. Pasti gerbang sudah ditutup.
"Kemana?" tanyaku.
"Kita ke luar angkasa!" maksudnya Bekasi.
***
Dia Arya. Bukan pacarku. Hanya seorang lelaki yang mampu menjungkir balikkan hidupku. Yang datang kerumahku malam-malam membawa sepanci bakso buatan Pak De, penjual bakso paling enak seantero SMA-ku. Waktu itu Ayah yang membukakan pintu. Ayah memarahi Arya.
"Oh jadi kamu cowok yang suka bawa jalan Arin? Jangan macem-macem ya kamu dengan Arin, atau kamu akan saya gantung di tiang ring basket." kata Ayah yang memang penggila Basket sejak muda dengan galak.
"Maaf, Om. Nanti kalau mau bawa jalan Arin saya izin ke Om. Nah, sekarang saya mau izin ke Om untuk bawa Arin jalan kapan-kapan. Boleh kan, Om? Saya juga bawa bakso kesukaan Arin." Arya menunjukkan panci berisi bakso yang ia bawa.
Ayah sedikit terkejut. Juga bingung. Malam itu, aku dan keluarga juga Arya makan malam dengan bakso. Ayah akhirnya membolehkan Arya membawaku jalan. Asal dikembalikan lagi ke rumah, itu syaratnya. Aku senang.
Sebelum pulang aku sempat mengobrol dengan Arya.
"Lihat? Aku bisa menghadapi Ayahmu yang galak, apalagi semua orang yang mengganggumu. Kalau ada yang macem-macem denganmu, akan ku gantung mereka di tiang ring basket."
Aku tertawa, Arya meniru perkataan Ayah.
"Iya, terima kasih, Arya," ucapku tulus. "Arya nggak harus ngelakuin itu. Arin bisa jaga diri, kok."
"Aku harus, Arin. Aku harus," diam sejenak. "Hakuna matata, Arin." Arya tersenyum.
Aku bahagia. Setidaknya aku sedikit tenang. Ada seseorang yang akan menyelamatkan masa indah-ku di SMA. Tak perlu lagi takut dengan mereka yang suka mencemooh. Dia Arya. Bukan pacarku.
(to be continue)
.
.
.
©
Hari Ketiga di #30DWC